Bagaimana Metode Kaizen Writing Workshop Mengubah Persepsi Saya Tentang Menulis

Bulan April lalu saya mengikuti Kaizen Writing Workshop yang diadakan oleh Dee Lestari. Begitu Ibu Suri mengumumkan workshop penulisan kaizen batch pertama di Instagramnya, saya tidak berpikir panjang untuk mengikuti kelasnya karena ingin belajar menulis novel langsung dari penulis favorit saya sejak satu dekade lalu. Ada tiga modul yang beliau paparkan dalam pelatihan daringnya yaitu:

  1. Ide Menjadi Karya: Memahami Ide & Struktur Kerja
  2. Seni Bercerita: Menghidupkan Cerita & Karakter
  3. Sentuhan Profesional Riset, Swasunting, & Disiplin Kaizen

Dulu (sampai sekarang pun) saya termasuk orang yang moody dalam hal menulis. Inspirasi saya tunggu hingga datang. Mendung sedikit rebahan. Diselingi pekerjaan lain saya tidak meluangkan waktu untuk menulis. Ide datang saya biarkan hingga cercah-cerah ide tidak saya selesaikan. Inspirasi (memang) datang begitu saja. Namun, jika ilham atau inspirasi itu tidak ditindaklanjuti atau dibiarkan hilang (lenyap) begitu saja, tulisan tidak akan pernah selesai. Kaizen merupakan istilah dalam bahasa Jepang yang memiliki arti perbaikan kecil berkesinambungan. Kata “Tamat” yang diusung oleh Dee Lestari memotivasi saya untuk menamatkan karya. Kata “Tamat” ini bagi saya adalah senjata pemungkas, selain tenggat waktu yang saya tentukan meski terkadang meleset karena satu dan lain hal. Jadi apa saja poin yang membuat persepi saya berubah tentang menulis? Jawabannya ada di bawah ini.

  1. Mencapai kata “Tamat” sebanyak mungkin
    Iya kata “Tamat” atau The End adalah senjata pemungkas dan “Tamat” adalah target, bukan kesempurnaan. Percuma kata-kata yang ditulis nyastra, tetapi tidak ada satu pun karya yang tamat. Buatlah tamat sebanyak mungkin dengan dibantu oleh tekanan dari tenggat waktu yang kita tentukan.
  2. Memperlakukan ide sebagai mitra
    Ide datang dan hilang secara tiba-tiba. Ia datang tak kenal waktu dan datang dalam berbagai bentuk. Ide pun terpicu oleh berbagai hal acak secara spontan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kita terhadap ide harus bertolak belakang dari ide itu sendiri. Untuk menyeberangkan ide dari dunia abstrak ke dunia nyata, kita perlu beri ia format, tenggat waktu, jadwal dan jam kerja, dan peta. Sebagai mitra kita, ide perlu kita perlakukan sama seperti pasangan kita. Kita tidak menilai dan tidak mendiskriminasi apakah itu ide bagus atau jelek, thought-provoking, atau selera pasar. Kita perlu bersikap netral dalam menerima ide tersebut. Ia nyap-nyap hanya ingin didengar. Ia datang, kita catat. Ide juga bersifat magis ketika ia masih di awang-awang, tetapi begitu kita tangkap, bisa jadi ia tidak sekeren dan sehebat ketika kita garap. Cercah-cercah ide harus rajin kita tangkap, tulis, dan kembangkan. Semakin sering kita menangkap ide, kita semakin punya sense sejauh mana potensi ide tersebut digali.
  3. Menerapkan prinsip Kaizen secara konsisten
    Kita perlu berkomitmen untuk meluangkan waktu baik itu satu atau dua jam sehari untuk menulis secara konsisten seperti prinsip Kaizen. Selain itu, jangan takut suara kita terdengar seperti penulis favorit kita. Suara penulis akan kita temukan seiring dengan proses menulis. Ciri khas atau warna tulisan kita akan terbentuk dengan mengasah atau menggali kemampuan kita hingga menemukan berlian. Berlian itulah suara ciri khas kita.

Workshop yang saya ikuti ini menyenangkan karena Dee menyampaikannya dengan serius tapi santai, ada sebutan Ibu RT bagi Dee Lestari, menulis novel diumpamakan sebagai merias pengantin bukan kondangan, kemudian ada kejutan aksi beliau ketika menyanyikan lagu Tak Ada Logika – Agnes Monica. Belum lagi cara menyampaikan materi dengan logat betawi atau batak beliau yang ketika saya putar rekamannya berulang kali, saya tetap saja tertawa berulang kali. Menurut saya workshop ini adalah investasi yang sepadan dengan ilmu yang beliau bagikan. Selain mendapatkan rekaman audio, peserta juga menerima masing-masing modul dalam bentuk PDF sehingga kita dapat mempelajarinya lagi. Ilmu menulis novel yang beliau ajarkan juga dapat diterapkan untuk menulis nonfiksi. Setelah mengikuti kelas Kaizen ini, setiap kali ada cercah-cercah ide, saya mendengar dan mencatatnya yang kemudian cercah-cercah ide tersebut dapat saya jahit menjadi karya baik itu puisi ataupun tulisan di blog atau bisa jadi cerpen atau novel tergantung pada seberapa besar potensi ide itu berkembang. Metode Kaizen ini sesuai dengan jalan ninja menulis saya. “Perbaikan kecil itu harus rajin dan konsisten,” ujar beliau.

*Sumber gambar dari sini 

2 thoughts on “Bagaimana Metode Kaizen Writing Workshop Mengubah Persepsi Saya Tentang Menulis

Tinggalkan Pesan